DIY Potensial Kembangkan Medical Tourism
Wabah virus korona sangat berdampak signifikan dalam perkembangan pariwisata, baik domestik maupun mancanegara. Aturan pembatasan perjalanan ke luar negeri yang dilakukan oleh beberapa negara sebagai bentuk proteksi warga negara berimbas pada lesunya industri pariwisata di Indonesia. Dalam seminar yang bertajuk Mengembangkan Medical Tourism di Wilayah Jateng dan DIY, para pemangku kepentingansektor pariwisata berdiskusi untuk menemukan formula yang efektif untuk menyikapi permasalahan ini. Mengawali acara yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya pada Kamis (12/3), Anton Wahyu Prihartono, Pemimpin Redaksi Harian Jogja menyampaikan bahwa Kementerian Pariwisata telah menetapkan 5 daerah destinasi medical tourism terbaik di Indonesia, yaitu Jakarta, Bali, Semarang, Solo, dan DIY. Ada 4 (empat) ranah medical tourism, meliputi wisata medis, kebugaran dan jamu, olahraga dan ilmiah kesehatan. “Kita pantas iri denga tetagga sebelah, Malaysia dimana medical tourism-nya sangat maju. Malaysia memiliki Malaysia Health Care Council yang secara spesifik bertugas mempromosikan industri kesehatan. Di tahun 2018 ini, Malaysia kedatangan hingga 1,2 jt pasien dan ironisnya 700 rb diantaranya adalah pasien dari Indonesia. Saya sangat yakin DIY menyimpan potensi besar untuk dikembangkan,” ucapnya.
Singgih Raharjo, Kepala Dinas Pariwisata DIY memastikan bahwa tak henti-hentinya beliau menyampaikan pada pada khalayak umum bahwa Jogja aman dikunjungi oleh wisatawan. DIY sudah membuat sistem terpercaya untuk menangkal virus korona dengan proteksi yang ketat di pintu masuk ke DIY. DIY bisa dikembangkan medical tourism dengan basis hospital, karena merupakan salah satu destinasi wisata unggulan yang memiliki rumah sakit dan tenaga medis berkualitas, sseperti RSUP dr. Sardjito, RS JIH, RS dr.YAP, dan RSUD Wates. Dalam mengembangkan pariwisata memerlukan teknik storynomic, artinya sebuah pendekatan pariwisata yang mengedepankan narasi, konten kreatif dan living culture serta menggunakan kekuatan budaya sebagai DNA destinasi. Artinya disini bahwa kekuatan narasi dan story telling yang dibangun, akan menambah value-nya. “Keunikan Jogja itu tidak ada duanya, diantaranya ada banyak minuman khas Jogja seperti wedang secang, wedang uwuh, bir jawa, jamu-jamuan, medical ala keraton. Pariwisata jamu saat ini ada relevansinya dengan korona. Beberapa tempat yang menyediakan jamu khas di Jogja seperti jamu genggang, jamu cekok Brigjen Katamso, dan jamu mbah imo. Kami berpikiran, adakah fasilitas untuk mengembangkan wisata jamu tersebut. Untuk itu kami akan dorong ke dinas pariwisata kab/kota. Ini bisa menjadi obyek yang wajib dikunjungi. Apakah hal ini memungkinkan. Kami juga akan kerjasama dengan GIPI. Yang sekiranya perlu disiapkan adalah aspek hygine dan sertifikasi produk. Ini yang saya rasa perlu direvitalisasi dari sisi itu,” tutur Singgih.
Agus Rochiyardi, Direktur Pemasaran Pariwisata Badan Otorita Borobudur sepakat dengan Singgih mengenai pentingnya sertifikasi produk jamu agar tidak kalah dengan obat farmasi. Agus menyampaikan ada 3 (tiga) hal utama yang harus diperhatikan dalam promosi medical tourism, yaitu produk, pelayanan dan manajemen. Ketiganya diterjemahkan dalam tahapan pemetaan potensi Wisata Kesehatan, yaitu sertifikasi produk wisata kesehatan; peningkatan kualitas dan kuantitas Kompetensi dan Profesionalisme pelaku Wisata Kesehatan; para pengelola wajib konsistensi menjalankan SOP, tata-tertib, aspek kesehatan; mempatenkan produk sebagai Hak Kekayaan Intelektual; Kolaborasi seluruh pemangku kepentingan; dan Pembuatan Travel Pattern Wisata Kesehatan. “Semua harus tersertifikasi. Jika mau menjadi pemain global, maka sertifikasi internasional harus dilakukan. Ini saatnya kita harus sudah menjalankan norma-norma yang diakui dunia. Promosi harus kita lakukan setelah travel pattern, baik digital maupun konvensional,” ucapnya.
Untuk mewudukan medical tourism yang menjadi andalan, setiap Rumah Sakit di Jogja harus memiliki keunggulan yang disepakati bersama. Demikian disampaikan, Bobby Ardiyanto Setyo Aji, Ketua DPD Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI)DIY. Untuk itu, seluruh stakeholders pariwisata perlu duduk bersama. DIY memiliki potensi besar untuk dikembangkan karena fasilitas Rumah Sakit sangat lengkap. Untuk menunjang hal itu, perlu dibentuk komunitas medical tourism untuk memetakan potensi tiap rumah sakit. RS menjadi kekuatan utama, didukung dengan pengobatan herbal. Perlu kesepakatam bersama untuk membangun iklim. Hal ini dapat dibangun dengan menurunkan ego masing-masing. “Kelemahan kita promosinya sendiri-sendiri, kita jalin komunikasi, kemudian di-review bersama agar bisa satu line dengan RIPDA (Rencana Induk Pariwisata Daerah) pemerintah. Kalo kita berkolaborasi untuk bersinergi, kita akan kuat,” kata Bobby. (fie/ast)