Was-was dengan Penataan, Warga di Sempadan Sungai Sambangi Gedung Dewan

Sejumlah warga di bantaran sungai Gajah Wong dan sungai Winongo yang tergabung dalam Paguyuban Kalijawi dan Lembaga Arsitek Komunikas (Arkom) Yogyakarta mengadu ke gedung DPRD Kota Jogja terkait permasalahan pertanahan dan program penataan kawasan bantaran sungai. Mereka bermaksud menyampaikan aduan sekaligus membahas kemungkinan solusi bagi mereka kepada wakil rakyat yang duduk di Komisi C. Dalam pertemuan yang berlangsung pada Selasa (28/1) siang, Mul, salah satu anggota Arkom menyampaikan bahwa Arkom memiliki kegiatan mendampingi warga yang mempunyai kerentanan terhadap permukiman mereka. Warga yang digandeng disini adalah warga dari sekitar Kalijawi, Jembatan Serangan, dan Gajah Wong, karena mereka sangat dekat dengan program penataan pinggir kali. Teman-teman Kalijawi merasa was- was dengan keadaan tersebut, karena ini merupakan ancaman terhadap pemukiman mereka,” ucap Mul. Senada disampaikan Atik Rochayati dari paguyuban Kalijawi, bahwa kegiatan utama mereka adalah mengumpulkan masyarakat untuk melakukan pemetaan masalah di wilayahnya. Perencanaan pembangunan di wilayah mereka, harapannya juga selaras dengan program-program di wilayah perkotaan. Terkait dengan penataan kami ingin tahu, ke depan penataan di sempadan sungai seperti apa,” tuturnya.

Rujiman, warga Jatimulyo juga mengadukan bahwa 2 (dua) bulan yang lalu ada instruksi  di masing-masing wilayah disuruh mendata warga yang menempati tanah wedi kengser. Tanah tersebut akan diukur semua luasnya dan dilaporkankan Sultan Ground. “Mereka menjanjikan ke depan akan dibantu mendapat surat kekancingan. Namun, ternyata tempat saya dan beberapa warga belum diukur,” keluh Rujiman. Ainun Murwani, koordinator Advokasi dan Jaringan Paguyuban Kalijawi menambahkan bahwa mereka sudah membuat desain dan RAB, namun belum sempat diaudiensikan. Kedatangan mereka secara resmi dengan harapan dapat terjalin komunikasi supaya tidak menyimpang di regulasi pemerintah. Kami sudah melakukan pengeprasan tanah 3 m dari sempadan, namun terkendala kajian teknis. Ada 7 rumah dan 1 balai warga yang terdampak, yang mana menunggu  kelanjutan PTSL. Supaya tidak tumpang tindih, apa yang sebaiknya kita lakukan?”

Menanggapi keluhan warga tersebut, Eko Suharto, Kepala BPN Kota Yogyakarta menjelaskan bahwa pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN telah meluncurkan Program Prioritas Nasional berupa Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). PTSL adalah proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, yang dilakukan secara serentak dan meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftarkan di dalam suatu wilayah desa atau kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu. Melalui program ini, pemerintah memberikan jaminan kepastian hukum atau hak atas tanah yang dimiliki masyarakat. Melalui program ini, semua bidang yang ada di permukaan bumi harus terukur dan terpetakan. Selama melaksanakan program tersebut, sosialisasi diadakan di tiap kecamatan. Program tersebut sudah diselesaikan pada tahun 2019. “Kita menganggap semua bidang tanah terukur dan terpetakan, namun ini belum tentu terdaftar. Pada intinya, 2020 sudah tidak ada lagi PTSL. Ini merupakan tahun validasi. Kalau ada yang belum terukur akan ketahuan. Terkait dengan tanah-tanah yang ada di bantaran sungai merupakan tanah wedi kengser, dimana tidak punya hak milik, namun tetap kita ukur. Kita tidak berani mengukur tanah yang masih bersengketa. Intinya BPN  hanya mendaftar. Kalau tanah kasultanan yang keluar adalah hak milik kasultanan,” tuturnya.

Agus Tri Haryono, Kepala DPUPKP Kota Yogyakarta menerangkan bahwa permasalahan sulitnya penataan di sungai Winongo adalah adanya tebing tinggi, sehingga Pemkot kesulitan menata maju dan mundur bangunan. Warga yang tinggal di kawasan tersebut harus direlokasi. “Untuk itu kami sudah siapkan rusunawa di Bener. Rusunnya manusiawi luasnya 36m2, sudah lengkap dengan perabotnya,” kata Agus.

Sarmin, Kepala Bidang Pertanahan Dinas Perumahan dan Tata Ruang Kota Yogyakarta menjelaskan bahwa lahan di sempadan sungai sebagian besar adalah tanah kasultanan. Warga yang tinggal di kawasan tersebut tentu ingin memiliki hak atas tanah tersebut. Hak yang akan dikeluarkan sebagian besar adalah kekancingan. Untuk memperoleh kekancingan harus ada syaratnya, yaitu Surat Keterangan Tanah (SKT). Dalam memproses itu, ada baiknya dibentuk pokmas.  Ketika sudah diukur, warga bisa ke Dispertarung untuk mengambil form. Form diisi dan dilengkapi untuk permohonan informasi tata ruang. Ini akan kami kerjakan sebagai rekomendasi tata ruang. Kurang lebih 1 bulan, ketua pokmas akan kami telepon untuk mengambil rekomendasi tata ruang dan 3 bendel form untuk dikumpulkan di Dispertarung DIY,” terangnya. (hangesti/ast)