Ikuti Relokasi, Justru Pedagang Untung
Dalam sebuah kesempatan diskusi dengan dewan Kota Jogja, komisi II DPRD Kabupaten Tegal menyampaikan ketertarikannya dengan pengelolaan sektor ekonomi di Kota Jogja, khususnya dalam menata Pedagang Kaki Lima (PKL). Rustoyo, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Tegal mempertanyakan sebagaimana keberpihakan APBD terhadap pengembangan ekonomi di Kota Jogja.
Oleg Yohan, Wakil Ketua Komisi B DPRD Kota Yogyakarta menjelaskan bahwa keberpihakan Pemkot dalam menggerakkan sektor ekonomi diantaranya dengan mengalokasikan anggaran untuk revitalisasi pasar dan kawasan pusat perekonomian. Pemkot Jogja juga fokus pada pengelolaan Pedagang Kaki Lima (PKL) karena mereka merupakan aset bagi pengembangan pariwisata. Dalam menata PKL, harus diutamakan secara kekeluargaan karena menyangkut budaya daerah. Sehingga, PKL dapat merasa nyaman dalam menjalankan usaha. “Hal ini dapat diamati di Malioboro. Kebetulan saat ini dalam tahap penataan Malioboro sebagai kawasan semi pedestrian. Setiap uji coba pelaksanaan kebijakan tersebut, yaitu hari Selasa Wage, PKL dengan sukarela mengorbankan waktu berjualan selama 1 hari, padahal per harinya mereka bisa beromzet Rp 15 – Rp 20 juta. Selain itu mereka juga dengan senang hati melakukan bersih-bersih di kawasan tersebut, terutama di sekitar tempat berjualan. Pada hari itu, juga digelar event pertunjukan atau hiburan rakyat yang dapat menjadi daya tarik wisatawan,” tuturnya.
Di Kota Jogja, disamping memperhatikan sisi teknis standarisasi pasar, pengambil kebijakan juga memperhatikan sisi kultural. R. Krisma Eka Putra, anggota Komisi B DPRD Kota Yogyakarta menambahkan bahwa rata-rata revitalisasi pasar tidak seperti di daerah lain yang sering dibarengi dengan aksi demo dan bentrokan. Salah satu contohnya adalah proses pemindahan Pasar Ngasem, yang sudah terkenal sebagai pasar satwa ke pasar baru yang ditata lebih modern, yaitu Pasar Satwa dan Tanaman Hias (PASTY). Relokasi pedagang berjalan cukup lancar. “Jangankan demo, mereka pindahnya saja pakai pakaian adat. Hal ini dikarenakan salah satunya karena masyarakat Jogja sangat menghormati Raja Jogja yang sekaligus sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Pak Gubernur menginstruksikan pada masyarakat Jogja untuk tetap tersenyum jika rumah atau tempat usahanya dipindah oleh pemerintah. Ini juga bukan tanpa alasan. Sebagai contohnya ketika pembangunan jalan exit di kawasan Malioboro, uang pengganti dari Pemda DIY sangat besar. Tanah warga yang hanya seluas 100 m, bisa mendapat ganti hingga Rp 3,5 M. Jumlah yang cukup fantastis bukan,” terang Krisma. (ism/ast)