Mahasiswa UAD Belajar Komunikasi Politik

DPRD Kota Jogja menerima audiensi dari mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta pada Rabu (8/1) siang. Eka Muhficd, mahasiswa UAD menyampaikan maksud dan tujuan dari kunjungan ini adalah untuk belajar berkaitan dengan komunikasi politik. “Konsentrasi kami pada kode etik kehumasan. Ini sebagai implementasi dari mata kuliah etika kehumasan dan keprotokoleran,” kata Dhian. Ketua DPRD Kota Yogyakarta, Danang Rudiyatmoko menyampaikan bahwa gedung DPRD ini adalah rumah rakyat, sehingga semua masyarakat bisa masuk ke gedung DPRD untuk menyampaikan aspirasinya. Anggota DPRD secara aplikatif sudah memiliki ilmu komunikasi, karena secara tidak langsung dalam menghadapi konstituen mereka berkomunikasi dan berusaha untuk mempertahankan relationship. “Karena komunikasi itulah yang bisa mengantarkan para anggota DPRD sehingga bisa duduk menjadi wakil rakyat dari berbagai background,” tutur Danang.

Muh. Solihin, mahasiswa  UAD menyampaikan pendapatnya bahwa masa jabatan DPRD adalah 5 tahun, dimana masa tersebut bukan merupakan masa yang singkat.  Periode waktu tersebut akan menghasilkan pola dinamika politik yang pasang surut. ‘Karena dinamika politik, tentu mungkin akan sangat sulit menjalankan rangkaian program kerja DPRD. Fungsi kehumasan harus punya kendali yang cukup kuat, kadang masyarakat di luar juga menjadi kesempatan untuk menyerang anggota DPRD. Tindakan seperti apa yang dilakukan dewan untuk menangkis hal- hal seperti itu,” tanya Solihin. Danang menanggapi bahwa di Jogja menjadi barometer politik dan dinamika politik nasional. Terkait dengan komunikasi, termasuk skala politik, maka pemerintah harus mengetahui positioning.  Ujung tombak sebuah komunikasi politik  adalah DPRD di tingkat kabupaten/kota, karena masukan masyarakat pertama masuk ke DPRD Kota/Kabupaten. “Walaupun kebijakan dibuat oleh pusat, namun di daerah harus bisa menjawab pertanyaan masyarakat. Fungsi DPR baik pusat maupun daerah hanya ada 3 (tiga), yaitu pengawasan, penganggaran, dan legislasi. Pengawasan terhadap kebijakan inilah yang dilakukan terus menerus. Kalau kita jauh dari masyarakat, bagaimana bisa mengawasi kebijakan masyarakat,” kata Danang.  

Faris, Lukman, dan Muhammad Redi Anggara, mahasiswa UAD juga menyampaikan beberapa pertanyaan diantaranya terkait bagaimana strategi dalam membangun era digital, upaya DPRD dalam mengawasi investasi dan wisatawan yang terus menerus, dan tanggapan dewan terhadap fenomena pencitraan dari wakil rakyat. Menanggapi hal tersebut, Danang menjelaskan bahwa anggota dewan harus mengikuti era digital. Untuk itu dewan mendorong Pemkot untuk berinovasi terkait perkembangan teknik informatikanya. Saat ini Pemkot Jogja telah memilliki Jogja Smart Service (JSS). Sekarang dewan juga tengah mendorong agar Diskominfo Kota Jogja mengembangkan Jogja Smart Office supaya verifikasi tidak manual. “Pokok-pokok pikiran (pokir) dewan yang merupakan aspirasi masyarakat juga  dimasukan ke dalam JSS dan aplikasi e-pokir. Sehingga, aspirasi ini bisa diambil dan dilihat oleh masyarakat.  Terkait dengan pencitraan, jika kewajiban dilakukan, otomatis pencitraan timbul dengan sendirinya. Untuk mengendalikan investasi daerah, kita selalu melakuan kegiatan pengawasan, sehingga tiap ada persoalan yang muncul segera dicarikan solusi,” ucap Danang.

Rengganis, mahasiswa UAD juga menyampaikan keingintahuannya tentang bagaimana cara mengembalikan citra ketika seorang anggota DPRD melanggar kode etik, sehingga menimbulkan kontra di masyarakat. Novi Safira, mahasiswi UAD juga menanyakan kaitannya dengan kebijakan tentang pembangunan hotel di Kota Jogja. “Jogja dikenal sebagai kota wisata. Ada beberapa  pembangunan hotel yang mangkrak. Hal ini  sangat disayangkan karena di sisi lain ada keterbatasan RPH,” katanya.

 

Danang menjelaskan bahwa apabila ada yang melanggara kode etik dan norma, di DPRD ada Badan Kehormatan (BK) yang merupakan utusan fraksi. Bila ada yg melanggar norma, BK akan memanggil sekaligus mencari bukti-bukti kebenaran. Jika terbukti, prosesnya dengan memberikan  rekomendasi kepada partai pengusung darimana dia berasal sekaligus juga tetap melakukan komunikasi dan klarifikasi. Terkait dengan hotel, dari tahun 2013- 2017, Pemkot Jogja melakukan moratorium terhadap pembangunan hotel dari kelas melati hingga bintang. “Namun, awal 2018, moratorium hotel dicabut hanya untuk kelas bintang 4 keatas. Kalau mau mendirikan hotel boleh saja, asal fasilitas sama dengan bintang 4. Pengembangan hotel dari bintang 2 ke bintang 4 juga boleh supaya investasi tidak stuck. Ketinggian maksimal yang dibolehkan hanya 32 meter. Masih ditambah lagi, ratio luas tanah dengan ketinggian, minimal 2000 m. Kalau kurang dari itu tidak boleh,” terang Danang. (hangesti/ast)