Bincang Warga dan Dewan Kupas Jaminan Kesehatan

DPRD Kota Yogyakarta menggelar acara sarasehan tentang Jaminan Kesehatan pada Rabu (11/12) pagi. Forum temu masyarakat tersebut dihadiri oleh Pimpinan DPRD, Anggota Komisi D, perwakilan dari BPJS Kota Yogyakarta, dan RSUD Kota Yogyakarta.

Dwi Hesti Yuniarti, Kepala BPJS Kota Yogyakarta menyampaikan terkait regulasi terbaru BPJS yaitu Peraturan Presiden No.75/2019 terkait penyesuaian iuran JKN-KIS resmi diberlakukan. Melalui kebijakan ini, pemerintah terkena beban paling besar, yaitu 73,63 persen dari total iuran. Tepatnya ada 96,8 juta penduduk miskin dan tidak mampu yang iuran JKN-KIS nya ditanggung negara lewat APBN dan 37,3 juta penduduk yang ditanggung oleh APBD.  Penyesuaian iuran JKN KIS nantinya akan diikuti dengan pembenahan kualitas layanan di Faskes Tingkat Pertama (FKTP) maupun di Faskes Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL). “Untuk itu kami juga meminta pada masyarakat untuk bisa memahami kondisi ini. Dengan begitu dampaknya pembayaran klaim fasilitas kesehatan bisa kami lakukan tepat waktu, sehingga cash flow fasilitas kesehatan akan tetap terjaga dan kualitas layanan meningkat,” tutur Hesti.

drg. Pembayun Setyaning Astutie, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DIY menyampaikan bahwa program JKN ini tidak hanya diperuntukkan sebagian segmen, tapi seluruh warga masyarakat DIY. Ada unsur gotong royong dalam program ini. Provinsi DIY juga menyediakan program Jamkesos, warga DIY yang tidak tercover dalam BPJS. Ke depan jamkesos tidak boleh membiayai 1 orang dengan 2 account. Jika sudah dibiayai BPJS, maka tidak bisa dibiayai dengan Jamkesos, karena akan menjadi temuan BPK. “Kami akan terus berupaya agar ke depan semua RS di Kota Jogja akan mudah diakses dengan BPJS. Untuk itu kami menghimbau kepada masyarakat bahwa jika sakit sebaiknya diobati di puskesmas dahulu, sebelum ke faskes di atasnya. Terkait obat tidak ada pembedaan antara pasien BPJS dan mandiri. Kami juga tak henti-hentinya meminta kepada teman dokter dan perawat agar bisa memberikan pelayanan terbaik. Kami himbau pasien datang ke layanan terdekat , selain agar lebih dekat dengan tempat tinggal, juga bisa dimonitor perkembangan kesehatannya dari dekat. Semua tenaga kesehatan yang kami sediakan sudah jelas kompeten,” terang beliau.

Beberapa masukan muncul dari perwakilan masyarakat, diantaranya Sarjono yang menyampaikan bahwa penting sekali bagi pemerintah untuk melakukan sosialisasi secara lebih luas. “Kami sebagai masyarakat siap menjalankan penyesuaian tarif. Kami bersyukur Pemkot Jogja sudah memberikan bantuan pada peserta mandiri. Selama ini saya sangat mendukung kampanye perilaku hidup sehat, salah satunya dengan melakukan donor darah yang sudah saya jalankan sejak Januari 1985. Sampai saat ini sudah hampir 107 kali,” katanya.  

Dwi, warga Rotowijayan menyampaikan bahwa kalangan pengambil kebijakan perlu mengkaji kaitannya dengan penyesuaian tarif. “Kami selama ini aktif di lembaga konsumen, tolong dicermati lagi kenaikannya, karena menurut hitungan kami tidak segitu. Kami juga meminta RS untuk bisa menambah jumlah ruang kelas 3, karena selama ini pasien yang berobat sering kehabisan kamar di kelas tersebut, sehingga harus naik kelas. Sementara pihak RS seringkali tidak bisa memberikan penjelasan terkait berapa jumlah yang harus dibayarkan jika harus naik kelas,” tutur Dwi.  

Anisatun, salah satu warga menyampaikan keluhannya bahwa selama ini ada pembatasan biaya untuk anak pengidap celebral palsy pada waktu fisioterapi dengan alasan tidak ada perkembangan. “Padahal bagi kami yang merasakan memiliki anak tersebut, melihat mereka bisa membuka tangan dan menunjuk saja itu sudah merupakan perkembangan yang sangat berarti. Yang saya sayangkan juga adalah perkara obat kejang yang tidak ditanggung. Padahal kejang sudah biasa terjadi pada anak tersebut. Anak celebral palsy tidak bisa disamakan dengan anak lain. Daya tahan tubuh mereka berbeda,” tuturnya.

Dhian Novitasari, Wakil Ketua DPRD Kota Yogyakarta menyampaikan bahwa apa yang menjadi masukan dalam forum ini akan dikaji kembali oleh Komisi D dan pihak terkait. Beliau juga menegaskan kembali agar tidak terjadi kesalahpahaman di masyarakat bahwa pada dasarnya Jamkesos dari Provinsi DIY bukan merupakan tandingan dari program BPJS. “Jamkesos dibentuk sebagai penutup biaya untuk layanan yang tidak dapat di-cover oleh BPJS,” ucap Dhian. (lis/ast)