Susun Aturan KTR, DPRD Kota Surabaya Studi Banding ke Jogja

Dalam proses pembahasan Raperda tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), Pansus DPRD Kota Surabaya melakukan studi banding ke Kota Yogyakarta. Hal ini dikarenakan Kota Yogyakarta baru saja menetapkan Perda tentang KTR. Dalam kunjungannya pada Jumat (4/1), Junaedi, Ketua Pansus KTR DPRD Kota Surabaya menjelaskan keinginannya untuk mencari masukan terkait materi Raperda KTR yang mungkin bisa sesuai dengan kondisi di Surabaya. Sekedar membandingkan, dalam Perda KTR di Kota Yogyakarta, ada 7 (tujuh) tempat dilarang merokok, sedangkan Dalam draft Raperda KTR Kota Surabaya terdapat 8 (delapan) lokasi. “Kami juga mengamati terkait sanksi pelanggar Perda di Kota Yogyakarta ditetapkan sebesar maksimal Rp 7,5 juta. Kira-kira apa yang menjadi pertimbangan?” kata Junaedi.

Sebelum ke materi Perda, Sujanarko, Ketua DPRD Kota Yogyakarta memberikan pengantar bahwa di tahun 2019, DPRD Kota Yogyakarta hanya memasukkan 11 (sebelas) Raperda dalam Propemperda 2019. Atas masukan dari Biro Hukum DIJ bahwa berdasarkan aturan baru, yaitu PP No.12 Tahun 2018, pembahasan Raperda harus selesai di tahun anggaran. Di tahun anggaran berikutnya tidak diperbolehkan lagi ada Raperda luncuran. “Biro Hukum juga menyampaikan bahwa staf mereka yang mengurusi fasilitasi Raperda hanya ada 4. Sehingga mereka menghimbau kami agar jangan bikin banyak Perda. Kami diminta lebih fokus pada pengawasan produk hukum yang sudah dihasilkan. Tahun 2017 kemarin kami ada 31 Raperda luncuran, sedangkan di tahun 2018 ada sekitar 18 Raperda luncuran. Inilah yang menjadi pencermatan mereka saat ini,” kata Sujanarko.

Menanggapi pertanyaan terkait Perda KTR, Sujanarko menjelaskan bahwa pembahasan Raperda KTR di Kota Yogyakarta memakan waktu cukup lama. Raperda ini sudah ada sejak Prolegda 2012. Pembahasan sempat terhenti hingga akhirnya dimasukkan lagi dalam Prolegda 2015. Perda ini baru ditetapkan pada bulan Februari 2017. Materi dalam Raperda ini mengalami perdebatan yang cukup alot, karena di Prolegda Raperda ini muncul dengan nama Kawasan Tanpa Asap Rokok (KTAR), sementara menurut amanah UU, seharusnya diberi nama KTR. “Pada akhirnya perdebatan itu diakhiri dengan mengambil nama sesuai perintah UU, yaitu KTR. Pada waktu itu juga muncul polemik ketika Walikota sudah mengeluarkan Perwal dengan nama KTR ketika Raperda masih dibahas. Untuk itu kami juga minta materi dalam Perwal itu direvisi menyesuaikan dengan Perda,” ucap Sujanarko.

Terkait perbedaan kawasan dilarang merokok, Sujanarko memberikan saran agar Pansus DPRD Kota Surabaya lebih mendetailkan lagi masing-masing kawasan agar tidak terjadi kerancuan. Terkait penentuan denda, ini sudah menjadi kesepakatan Pansus dan masukan dari berbagai stakeholders dan masyarakat. “Pada intinya, Perda ini ada bukan untuk melarang orang merokok, tapi untuk mengatur tempat-tempat yang tidak boleh untuk merokok. Artinya mereka harus menghargai orang-orang di sekitar yang tidak boleh terpapar rokok,” tutur Sujanarko. (her/ast)