Dewan Nilai Perwal Usaha Minimarket di Kota Jogja Tak Pro Rakyat
Naskah akademik yang diusulkan Komisi B DPRD Kota Yogya sebagai dasar pembentukan perda terkait toko modern berjejaring sempat ditolak Biro Hukum DIY. Hal itu karena dinilainya cukup diatur melalui peraturan walikota (perwal). Hanya, keberadaan perwal terkait usaha minimarket saat ini justru dinilai tidak pro rakyat. Anggota Fraksi Gerindra DPRD Kota Yogya yang juga duduk di Komisi B R Krisma Eka Putra SE, menegaskan Perwal 56/2018 tentang Penataan Usaha Minimarket di Kota Yogya tidak mengatur mengenai batasan jumlah maupun jarak antar toko jejaring, serta jaraknya dengan toko kelontong. "Padahal toko kelontong tradisional ini lah yang paling terkena dampak atas menjamurnya toko modern berjejaring," tandasnya.
Satu-satunya pembatasan jarak yang diatur hanya dengan pasar rakyat, yakni 400 meter. Akan tetapi, imbuh Krisma, radius batasan jarak itu belum sepenuhnya mampu melindungi pasar rakyat. Ditambah lagi, dalam perwal sama sekali tidak diatur jaraknya dengan toko kelontong atau warung tradisional milik rakyat. "Seharusnya diatur jarak antar sesama toko modern, kemudian jaraknya dengan pasar rakyat, serta jaraknya dengan toko kelontong," tegasnya.
Dirinya tidak mempersoalkan penataan minimarket berjejaring hanya diatur melalui perwal. Akan tetapi perwal tersebut harus dibuat pro dengan rakyat. Upaya Komisi B yang mengusulkan naskah akademik sebagai dasar pembentukan perda itu ditujukan untuk memberikan payung hukum yang lebih tegas terkait penataan toko modern. Hal itu juga pernah dilakukan oleh Kabupaten Sleman dengan Perda 14/2019 tentang Penataan Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan. Krisma menyadari, sebagai kota wisata memang diperlukan toko modern berjejaring. Tetapi jika rakyat harus bertarung bebas dengan pemodal besar dan negara tidak hadir di sana, maka menimbulkan persoalan. "Sebenarnya kita ini mewakili kepentingan rakyat atau investor?," tanyanya.
Di samping itu terkait kemitraan, meski disinggung dalam perwal namun belum ada sanksi yang jelas ketika toko modern berjejaring dalam perjalanannya tidak menjalankan kemitraan dengan usaha mikro dan kecil. Bentuk kemitraan itu pun perlu dipertegas kembali secara lebih teknis. Misalnya 30 persen dari total produk yang dijual merupakan produk UMKM lokal, dan ruang display produknya diatur sekian meter persegi. (dhi/ast)